PALU, WARTASULAWESI.COM – Konflik warga dengan perusahaan PT Citra Palu Minelars (PT. CPM) yang berlarut-larut hingga saat ini, dinilai oleh Tokoh Pemuda Poboya Walmuzi Rachman merupakan imbas dari buruknya komunikasi dan hubungan perusahaan dengan masyarakat.
Walmuzi Rachman mengatakan, Perusahaan PT CPM yang mengantongi izin Kontrak Karya (KK) seakan-akan merasa sebagai penguasa tunggal pemegang hak pengelolaan dan hak milik atas lahan-lahan yang masuk dalam wilayah KK itu, walaupun pemerintah dan CPM mengetahui bahwa dalam wilayah kontrak karya tersebut, terdapat lahan-lahan warga dan ulayat masyarakat Poboya yang telah dikuasai secara turun temurun dan dibuktikan dengan adalah pohon – pohon tanaman, kebun-kebun dan juga pekuburan keluarga warga Poboya.
“Ketidak jelasan informasi pembebasan lahan dan proses pembebasan lahan yang dilakukan secara suka-suka perusahaan, semakin menambah keserawutan jalannya aktifitas pertambangan di Poboya,” ujar Walmuzi Rachman.
Kata dia, warga tidak mengetahui luasan total lahan yang akan dibebaskan, siapa para pemilik-pemilik lahan, siapa-siapa tim perusahaan atau pihak independen yang menangani proses pendataan dan pembebasan lahan dan membangun kesepakatan terkait harga lahan, semua itu tidak jelas.
Yang terjadi kata Walmuzi, oknum-oknum karyawan perusahaan bahkan petugas polisi yang mendatangi warga pemilik lahan secara personal menawarkan jasa membantu pemilik lahan untuk mendapatkan pembayaran pembebasan lahan. Bahkan oknum-oknum tersebut menekan, mengancam dan mengintimisasi pemilik lahan untuk menerima harga pembayaran dari perusahaan. Bila tidak, maka lahannya akan diambil percuma dengan dasar perusahaan punya kontrak karya dan itu dikatakan sebagai tanah negara.
Dalam tahapan pengeboran yang dilakukan oleh perusahaan, awalnya perusahaan meminta izin kepada warga pemilik lahan. Bahkan memberikan kompensasi sejumlah uang kepada pemilik lahan, karena lahan warga dijadikan lokasi titik-titik pengeboran. Namun setelah selesai pengeboran, perusahaan dengan pengawalan polisi lalu membuka jalan di atas tanah warga tersebut dan melakukan pengerukan dan pemuatan material dari lahan warga tanpa izin pemilik lahan lagi.
“Awalnya proses pemuatan material berjalan baik dan tidak mendapat penolakan oleh warga, karena memang material yang diambil berada diatas lahan warga yang sudah dibebaskan dan dimiliki oleh perusahan. Namun ketika pembukaan jalan dan pengambilan material di atas lahan-lahan warga yang belum dibayar, maka kembali terjadi konflik dan berbuntut pada pemanggilan warga oleh krimsus Polresta Palu dengan dugaan pidana menghalangi aktifitas perusahaan. Dan wargapun memenuhi panggilan dimintai keterangan dan berakhir di penandatanganan berita acara pemeriksaan,” papar Tokoh Pemuda Poboya itu.
Imbas dari pelaporan terhadap warga itu, akhirnya saat ini siapa warga yang melarang alat dan armada perusahaan bekerja walaupun diatas lahan warga dan ulayat, langsung mendapat undangan polisi untuk dimintai keterangan, tentunya dengan dugaan pidana menghalangi aktifitas perusahaan.
Dari proses tersebut, kembali perusahaan dengan leluasa mengeruk, menggali dan memuat material. Sementara warga pemilik lahan, hanya pasrah menyaksikan penyerobotan tanahnya yang dilakukan perusahaan.
Dalam kondisi seperti itu papar Walmuzi, perlawanan warga terhadap perusahaan tetap terjadi. Wargapun melaporkan penyerobotan lahan tersebut ke Polda Sulteng, namun pihak Polda tidak bisa menerima dan memproses laporan dengan alasan bahwa tidak memiliki alas hak penguasaan dan pemilikan lahan dalam bentuk sertifikat hak milik.
Kepada pihak Polda, warga Poboya menyampaikan bahwa lahan yang dihalangi pengambilan materialnya adalah lahan warga yang telah dikuasai secara turun temurun dan merupakan lahan ulayat dan tanah adat di Poboya, sehingga jika lahan ulayat itu dibuatkan surat sertifikatnya berarti itu bukan lagi lahan ulayat atau adat, karena tidak ada lahan ulayat dan adat yang bersertifikat.
“Kami punya keterangan dari adat dan tokoh – tokoh masyarakat akan penguasaan dan pemikiran lahan-lahan tersebut, tetapi tetap petugas polisi tidak mau menerima dan memproses laporan warga,” kesalnya.
Sejak itu, oknum karyawan PT CPM dengan pengawalan polisi bersenjata semakin bebas mengeruk dan memuat material dari lahan warga.
“Bila ada warga yang keberatan, silahkan laporkan kepihak berwajib, ucap mereka (karyawan pengawas) kepada warga dilokasi pertambangan,” jelas Walmuzi.
Walmuzi menjelaskan, musibah kecelakaan penambang yang tertimpa longsoran batu yang menyebabkan satu korban meninggal dan dua orang luka-luka yang telah ditangani pihak kepolisian dengan memanggil lebih dari lima warga untuk dimintai keterangan dugaan pidana penambangan emas tanpa izin, merupakan lokasi paritan tambang lama yang merupakan lahan perusahan yang dibebaskan.
“Informasi dari warga penambang, paritan tempat kejadian tersebut memang dibuatkan oleh perusahaan untuk warga penambang agar tidak mengganggu aktifitas alat dan armada perusahaan yang bekerja,” kata Walmuzi.
Namun yang dia sesalkan, dengan kejadian tersebut, petugas polisi menghentikan aktifitas warga, melarang pengambilan material dan merobohkan bangunan warga di lokasi penambangan, termasuk merobohkan rumah – rumah yang dianggap sebagi hunian penambang illegal di dekat lokasi pertambangan.
Walmuzi menyampaikan, pada Rabu (7/9/2022) sekira pukul 23.00 Wita, petugas polisi menembak warga dengan gas air mata dan letusan-letusan tembakan senjata yang mengakibatkan satu orang warga terkena gas air mata. Dari peristiwa penembakan gas air mata dan letusan – letusan itu, kesokan harinya pukul 07.00 WITA, secara spontan warga Poboya menutup akses jalan satu – satunya menuju PT. CPM.
Warga menutup jalan dengan menebang pohon – pohon di pinggir jalan serta bersi keras untuk tidak naik menemui pihak perusahaan.
“Cukup sudah kita selalu datangi mereka (PT CPM) disana, sudah berkali-kali kita demo dan kita yang selalu datangi mereka. Sekarang, kita tutup saja jalan ini, karena ini jalan milik kita bukan milik perusahaan. Kita lihat dan menunggu apakah mereka mau datang dan berbicara dengan kita,” ucap Walmuzi menirukan ucapan warga yang berorasi dalam penutupan jalan ke PT CPM.
Walmuzi juga menilai, informasi dan komunikasi yang buruk, bukan hanya terjadi secara eksternal perusahaan, tetapi juga terjadi secara internal. Ini kata dia, dibuktikan dengan arahan seorang pimpinan kepada karyawan dengan maksud menyemangati karyawan ekternal dalam bekerja, justru blunder dengan pernyataan yang menghina dan melecehkan raja – raja dan keadatan di Sulawesi Tengah.
Akibatnya, warga dan tokoh tokoh adat serta pengurus lembaga ada se Sulawesi Tengah bersepakat untuk memprosesnya dalam peradilan adat Sulawesi Tengah pada 18 September 2022 mendatang.
“Pemerintah daerah baik provinsi dan Kota Palu, terkesan tersandra dengan kontrak karya tersebut. Informasi terkait tahapan, proses apa yang sedang dilakukan oleh perusahaan saat ini, metode/cara produksi yang dilakukan saat ini, pengawasan lingkungan, pembebasan lahan, kewajiban pajak, penerimaan daerah dan negara serta berbagai informasi dan keterangan yang wajib terdokumentasikan secara resmi juga sulit diperoleh pada pemerintah. Sehingga sulit untuk menyelarasakan antara surat dan keterangan resmi perusahaan dengan fakta kondisi lapangan,” keluh Walmuzi.
Walmuzi menyebut, dari sekelumit kecil pemicu ketidaknyamanan jalan aktifitas perusahan, justru terkesan lahir dari faktor internal perusahan, seperti dibuat berlarut-larut dan penggunaan aparat kepolisian untuk berhadapan dengan masyarakat.
“Tidak mengherankan bila terjadi perlawanan warga yang dulunya tidak anti investasi, kini inginkan lahannya dan lahan ulayat dikeluarkan dari luasan kontrak karya PT CPM,” tandasnya.
Sementara Humas PT CPM, Amran Amir yang dikonfirmasi terkait penyataan Tokoh Pemuda Poboya itu, tidak banyak menyampaikan keterangan.
Amran hanya menyampaikan terima kasih atas kritik dan saran yang disampaikan itu.
“Terima kasih untuk kritik dan saran, semoga ke depan jauh lebih baik..terima kasih,” tulis Amran via WhatsApp kepada redaksi wartasulawesi.com pada Rabu (13/9/2022). MH/*