TOLITOLI, WARTASULAWESI.COM – Proyek Rekonstrukti Peningkatan Kapasitas Struktur Jalan (Khusus Provinsi) Ruas SP. Buatan – Bilo di Desa Sibaluton, Kecamatan Basidondo, Kabupaten Tolitoli sebesar Rp11,9 Miliar menggunakan timbunan pasir dan batu (sirtu) yang diambil secara illegal dari Sungai Desa Basi, Kecamatan Basidondo, Tolitoli.
Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulteng, Asbudianto yang dikonfirmasi media ini mengatakan, proyek di Dusun Donton, Desa Sibaluton itu memang paket proyek dari Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulteng.
“Sebenarnya, kita tidak pusing apakah material yang dia gunakan itu resmi atau illegal. Yang penting bagi kami, material yang digunakan sesuai spesifikasi untuk pendasi dasar jalan,” ujar Asbudianto yang ditemui di ruang kerjanya belum lama ini.
Asbudianto menjelaskan, material sirtu yang diambil dari Sungai Desa Basi itu tidak langsung digunakan untuk menimbun jalan, namun dicampur dulu dengan kerikil yang dibawa dari Desa Tinigi, Kecamatan Galang, Kabupaten Tolitoli.
“Informasi yang mereka sampaikan ke saya dari lapangan, sirtu itu mereka campur dulu dengan kerikil dari Tinigi baru digunakan untuk penimbunan jalan,” jelas Asbudianto sembari memperlihatkan foto pencampuran sirtu dan kerikil.
Dia menyampaikan, di lokasi pengambilan sirtu di Sungai Desa Basi itu sekaligus digunakan sebagai tempat untuk mencampur sirtu dengan kerikil yang dibawa dari Desa Tinigi.
“Mereka dari lapangan mengirimkan foto bahwa di lokasi itu, sekaligus jadi tempat untuk mencampur sirtu dan kerikil baru digunakan menjadi timbunan atau dasar pondasi jalan,” jelasnya.
Namun penjelasan Asbudianto itu, rupanya tak sesuai kenyataan di lapangan.
Hasil penelusuran langsung wartawan media ini di lokasi proyek, nampak beberapa timbunan sirtu yang diambil dari Sungai Desa Basi terlihat jelas tidak ada campuran kerikilnya.
Sirtu yang diambil secara illegal dari Desa Basi itu, langsung diturunkan di ruas jalan proyek Dusun Donton, Desa Sibaluton itu. Dari beberapa tumpukan sirtu yang diletakkan di jalan, tidak terlihat sama sekali kerikil sesuai penjelasan Asbudianto.
Sebelumnya, pengawas lapangan PT. Rajawali, Mahmud yang ditemui di lokasi aktivitas galian C di Desa Basi mengakui bahwa aktivitas galian C itu tidak mengantongi izin karena luas wilayahnya tidak memenuhi standar dalam pembuatan izin yaitu minimal 15 hektar.
“Susah memang pak kalau kita bicara izin disini, karena harus 15 hektar lahannya,” ujar Mahmud kepada media ini, Sabtu (20/8/2022).
Mahmud menjelaskan untuk membuat izin dalam melakukan galian C di Desa Basi, persyaratannya sangatlah besar mulai dari letak wilayah dan pembayarannya, sehingga diri nya tidak lagi membuat izin dalam melakukan galian. Apalagi katanya, lokasi yang diolah adalah miliknya.
“Kalau mau berbicara izin pak tidak ada Izin nya semua, kecuali tinigi. Tapi ini kan lokasi saya,” tegasnya.
Mahmud juga menerangkan, jumlah excavator yang beroprasi di galian C hanya berjumlah 1 buah dan mobil untuk memuat hasil galian hanya 10 lebih.
“Excavator hanya 1, kalau mobil tidak sampe 20,” tambahnya.
Jika merujuk pada undang Nomor 3 tahun 2022 tentang pertambangan mineral dan Batubara, sangat jelas hukuman bagi setiap orang yang melakukan aktivitas pertambangan tanpa izin.
Dalam pasal 158 undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin, maka bisa dikenai pidana paling lama 5 tahun penjara.
Mahmud juga mengakui bahwa galian pasir dan batu (Sirtu) itu, untuk penimbunan proyek pekerjaan penimbunan Jalan di Dusun Dontong, Desa Sibalutun, Kecamatan Basi Dondo yang berbatasa langsung dengan Desa Bilo, Kecamatan Ogodeide, Kabupaten Tolitoli.
“Iya untuk pekerjaan di Sibaluton, di Donton ini sampai perbatasa Desa Sibaluton,” katanya.
Mahmud juga mengatakan, pekerjaan itu milik Dinas Pekerjaan Umum di Provinsi.
“Itu pekerjaan dari provinsi,” tandasnya. ADR