DONGGALA, WARTASULAWESI.COM – Konflik agraria kembali mencuat di Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Warga dari lima desa, yakni Polanto Jaya, Minti Makmur, Tinauka, Towiora dan Rio Mukti, memrotes aktivitas PT Lestari Tani Teladan (LTT) yang diduga mengelola lahan di luar izin Hak Guna Usaha (HGU) dan merambah kawasan eks-transmigrasi.
Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Agraria Sulawesi Tengah, Eva Bande, menegaskan laporan masyarakat langsung direspons gubernur dengan membentuk satgas khusus.
Tim ini akan menelusuri riwayat penguasaan lahan dan memastikan hak-hak masyarakat tidak diabaikan.
“Perusahaan tidak perlu pakai cara intimidatif, sudah bukan zamannya. Pemerintah juga harus hadir secara hukum dan moral. Pemilik tanah dan air ini adalah rakyat,” tegas Eva, Selasa (19/8/2025).
Eva menambahkan, sesuai aturan, 20 persen dari konsesi HGU seharusnya menjadi hak masyarakat. Karena itu, Eva meminta anggota Komisi II DPR RI, Drs. H. Longki Djanggola, M.Si, ikut mengawal penyelesaian kasus ini hingga tingkat pusat.
Longki Djanggola: Harus Jujur, Adil, dan Sesuai Aturan
Menanggapi hal tersebut, Longki Djanggola menegaskan komitmennya untuk mengawal persoalan ini hingga tuntas.
Politisi Gerindra itu bahkan sudah beberapa kali turun ke lapangan untuk mendengar langsung keluhan masyarakat.
“Saya minta semua pihak, terutama perusahaan, punya itikad baik menyelesaikan persoalan ini dan mau selalu duduk bersama. Persoalan ini harus diselesaikan secara jujur, adil dan sesuai aturan hukum, agar semua pihak mendapatkan manfaat,” ujarnya di Kompleks DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).
Longki juga mengungkapkan telah menyampaikan persoalan ini ke Kementerian ATR/BPN dengan penekanan agar hak-hak masyarakat tidak dirugikan.
Warga Bongkar Kekerasan dan Sertifikat Tumpang Tindih
Kepala Desa Minti Makmur, Kasnudin, mengingat kembali peristiwa 2004, ketika warga termasuk perempuan dan anak-anak mengalami kekerasan akibat konflik lahan.
“Kalau karena kami memilih tanah ini lalu direpresi, tunjukkan undang-undangnya! Saya melihat rakyat saya menderita, saya siap mengembalikan tanah ini kepada mereka,” ujarnya lantang.
Sementara itu, Sekdes Polanto Jaya, Riyadi, membeberkan adanya tumpang tindih sertifikat.
Menurutnya, lahan yang sejak 1990-an dikelola warga dengan sertifikat hak milik (SHM), kini justru masuk dalam area HGU PT LTT.
“Ada sekitar 254 hektare sawit milik PT LTT yang berdiri di luar HGU, masuk ke lahan bersertifikat warga,” jelasnya.
Perwakilan BPN Donggala menegaskan, jika terbukti terjadi tumpang tindih antara SHM dan HGU tanpa pelepasan hak oleh warga, maka HGU bisa dibatalkan.
“SHM dan HGU tidak boleh tumpang tindih. Harusnya hanya satu sertifikat di atas satu bidang tanah,” tegasnya.
Respons Perusahaan dan Pemda
Direktur PT LTT, Agung, menyatakan pihaknya siap turun ke lapangan untuk memverifikasi data.
“Kami sudah punya data ganti rugi dan kompensasi. Silakan warga kumpulkan SHM mereka, nanti kita sinkronkan dengan data perusahaan dan Pemda,” ujarnya.
Agung menegaskan, HGU PT LTT berlaku sejak 2007 hingga 2029 dan tidak ada masalah dengan lahan eks Letawa.
Agung berharap situasi tetap kondusif dan proses verifikasi berjalan lancar.
Asisten I Pemda Donggala, Moh. Yusuf Lamakampali, memastikan penyelesaian konflik akan dilakukan secara bertahap dan adil.
“Langkah kita step by step, cari solusi percepatan yang adil untuk semua pihak,” katanya.
Kasus ini kini menjadi perhatian serius pemerintah daerah, pusat, dan DPR RI.
Satgas Penyelesaian Konflik Agraria dijadwalkan segera memanggil semua pihak untuk mencari titik temu yang berpihak pada kepentingan masyarakat. ***