Tiga Perkara Dihentikan lewat Restorative Justice, Kejati Sulteng Utamakan Pemulihan Sosial

oleh -
oleh
IMG 20250310 WA0134 scaled
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Zullikar Tanjung, S.H., M.H., didampingi Aspidum Kejati Sulteng, Fithrah, S.H., M.H., kembali memimpin ekspose penghentian penuntutan berdasarkan prinsip Restorative Justice, Senin (10/3/2025). FOTO PENKUM KEJATI SULTENG

PALU, WARTASULAWESI.COM – Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Zullikar Tanjung, S.H., M.H., didampingi Aspidum Kejati Sulteng, Fithrah, S.H., M.H., kembali memimpin ekspose penghentian penuntutan berdasarkan prinsip Restorative Justice.

Kegiatan ini digelar secara virtual bersama Direktur Oharda pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung RI, Senin, 10 Maret 2025.

Dalam ekspose tersebut, terdapat tiga perkara yang diajukan untuk dihentikan penuntutannya. Dua perkara berasal dari Kejaksaan Negeri Donggala, sementara satu perkara lainnya berasal dari Kejaksaan Negeri Morowali Utara.

Perkara pertama dari Kejari Donggala melibatkan tersangka Adi Sakti alias Adi yang didakwa melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Kasus ini bermula saat tersangka mendatangi rumah korban, Evarianti alias Eva, untuk menagih utang suami korban.

Karena korban tidak berada di rumah, tersangka kemudian menyuruh saksi Imran alias Uwo (yang diproses dalam penuntutan terpisah) untuk membawa sepeda motor milik korban tanpa seizin pemiliknya.

Perkara kedua, masih dari Kejari Donggala, melibatkan tersangka Imran alias Uwo. Ia merupakan eksekutor dalam peristiwa pencurian sepeda motor tersebut. Perannya adalah membawa motor milik korban berdasarkan perintah dari Adi Sakti. Kedua perkara ini menggunakan Pasal 362 KUHP tentang pencurian, dengan korban yang sama.

Sementara itu, perkara dari Kejari Morowali Utara melibatkan tersangka Selvi Salim alias Epi. Ia adalah seorang ibu dengan empat anak, yang sehari-hari bekerja mencari kerang sungai untuk membantu perekonomian keluarga.

Selvi didakwa melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan, setelah menampar korban, Nila Hipy alias Nila, karena tersinggung dengan ucapan korban.

Perkara ini tergolong ringan dan dilatarbelakangi oleh masalah emosional sesaat.

Pihak Kejaksaan memutuskan untuk menghentikan penuntutan atas ketiga perkara tersebut dengan mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya adanya perdamaian antara tersangka dan korban, latar belakang sosial, dan dampak jangka panjang terhadap kehidupan para tersangka jika perkara tetap diproses secara pidana.
“Prinsip Restorative Justice ini kami utamakan untuk menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan pemulihan sosial. Kami ingin para tersangka dapat kembali ke masyarakat, memperbaiki kesalahan, dan menjalani hidup tanpa stigma,” ujar Wakajati Sulawesi Tengah, Zullikar Tanjung.

Dengan penghentian penuntutan ini, diharapkan para pelaku dapat memperbaiki diri dan membangun kembali hubungan sosial yang sempat terganggu, tanpa harus menjalani proses hukum yang berlarut-larut.

Pendekatan keadilan restoratif menjadi pilihan yang menitikberatkan pada dialog, pemulihan, dan keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat.

Langkah ini juga menjadi bagian dari komitmen Kejaksaan dalam membangun sistem hukum yang lebih manusiawi, sekaligus efektif dalam menyelesaikan perkara-perkara ringan yang tidak harus berujung pada pemidanaan. ***

No More Posts Available.

No more pages to load.