Sengketa Tanah Eks HGB Huntap Tondo II, Direktur Operasional PT SPM dan PT SW: Penetapan Clear and Clean Tidak Sesuai Fakta..!

oleh -
oleh
Tanah Eks HGB Huntap Tondo II
Direktur Operasional PT Sinar Putra Murni (SPM) dan PT Sinar Waluyo (SW), Rojak bersama kuasa hukum Sahlan Lamporo, SH.MH saat menggelar konfrensi pers di Kota Palu, Kamis (13/2/2025). FOTO : WARTASULAWESI.COM

PALU, WARTASULAWESI.COM – Direktur Operasional PT Sinar Putra Murni (SPM) dan PT Sinar Waluyo (SW), Rojak, mengklarifikasi berbagai pernyataan yang beredar mengenai status tanah eks Hak Guna Bangunan (HGB) yang digunakan untuk proyek hunian penyintas bencana yakni Hunian Tetap (Huntap) Tondo II.

Menurut Rojak, penetapan status clear and clean yang dikeluarkan oleh pihak terkait dalam hal ini Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulteng, tidak sesuai dengan fakta hukum yang berlaku.

Dalam keterangannya, Rojak menegaskan bahwa tanah yang dimaksud tidak bisa dikategorikan sebagai tanah negara maupun tanah terlantar, karena sudah diajukan perpanjangan HGB sebelum masa berlaku habis. Selain itu, perusahaan juga telah membayar setoran sesuai perintah Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Penetapan lokasi memang ditandatangani oleh Gubernur saat itu berdasarkan Undang-Undang Pengadaan Tanah Nomor 2 Tahun 2012, khususnya Pasal 49 yang memungkinkan penggunaan tanah untuk kepentingan kebencanaan. Namun, dalam peraturan turunannya, seperti Perpres 71 Tahun 2012 yang kemudian menjadi PP 19 Tahun 2021, disebutkan bahwa setelah digunakan, tanah tersebut tetap harus melalui mekanisme pengadaan yang sah, termasuk pemberian ganti rugi,” jelas Rojak dalam konfrensi Pers di Palu, Kamis (13/02/2025).

Rojak menyatakan ada dua penyimpangan dalam penetapan status clear and clean. Pertama, lahan seluas 65 hektare yang dinyatakan clear and clean sebenarnya belum sepenuhnya bebas dari hak hukum karena PT Sinar Putra Murni telah menyumbangkan 30 hektare, tetapi sisanya masih memiliki dasar kepemilikan. Kedua, di lahan tersebut terdapat sertifikat hak milik milik masyarakat yang belum diselesaikan statusnya.

“Jika sebuah tanah dinyatakan clear and clean, maka secara hukum tidak boleh ada sengketa. Faktanya, ada sertifikat hak milik masyarakat di area yang sama, dan ada hak perusahaan yang belum diperhitungkan sesuai ketentuan PP 19 Tahun 2021,” lanjutnya.

Rojak menyebut bahwa penyataan yang menyebut eks HGB di lokasi Huntap Tondo II adalah tanah negara setelah HGB berakhir adalah keliru. Sebab, berdasarkan PP 18 Tahun 2021 Pasal 2 Ayat 3 Huruf G, tanah yang berasal dari HGB yang telah berakhir tetapi sudah diajukan perpanjangan tidak termasuk dalam kategori tanah negara.

Rojak menyoroti dasar hukum penggunaan lahan pasca bencana yang digunakan pemerintah membangun Huntap Tondo II, setelah adanya penetapan lokasi (Penlok) oleh Gubernur Sulteng saat itu Longki Djanggola.

“Penetapan lokasi yang ditandatangani oleh Gubernur Longki Djanggola pada saat itu, didasari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, khususnya Pasal 49 yang memperbolehkan penggunaan lahan terlebih dahulu dalam kondisi bencana sebelum proses ganti rugi dilakukan,” ungkapnya.

Rojak menambahkan bahwa sejak 2019, pihaknya telah membayar biaya perpanjangan HGB sesuai instruksi Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Menurut PP Nomor 19 Tahun 2021, tanah dengan HGB yang telah berakhir tetapi sudah diajukan perpanjangan, tidak termasuk kategori tanah Negara. Ini menjadi dasar bahwa tanah tersebut masih dalam penguasaan perseroan,” katanya.

Terkait isu tanah terlantar, Rojak menyatakan pernah menerima penetapan tanah terlantar pada 2014 akibat hambatan perizinan dari Pemerintah Kota Palu.

“Kami ajukan permohonan pembangunan, tapi ditolak dengan alasan penataan ruang. Saat BPN melihat tidak ada aktivitas, mereka menetapkan tanah terlantar. Namun, setelah kami ajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, pengadilan menyatakan bahwa tanah kami bukan tanah terlantar,” jelasnya.

Rojak juga menyinggung dugaan intervensi hukum dalam sengketa yang melibatkan mantan Kepala kanwil BPN Sulteng Dr. Ir. Doni Janarto Widiantono.

“Persoalan hukum harusnya diselesaikan di ranah hukum, bukan dipolitisir atau dibawa ke forum yang tidak berwenang,” katanya lagi.

Rojak berharap, dengan adanya penyelasan ini masyarakat mendapatkan pemahaman yang jelas dan tidak terjebak pada informasi yang dianggap bisa menyesatkan. ***

No More Posts Available.

No more pages to load.