Diduga Langgar Kode Etik, Hakim Pengadilan Agama Palu Dilaporkan ke KY dan Bawas MA

oleh -
oleh
IMG 20250714 WA0080
Dedi Irawan, anggota Dewan Majelis LPS-HAM Sulteng. FOTO : IST

PALU, WARTASULAWESI.COM – Dugaan pelanggaran kode etik dan konflik kepentingan mencuat di Pengadilan Agama (PA) Palu.

Laporan resmi telah diajukan oleh Tonny Satya Mangitung sebagai salah tergugat didampingi Dedi Irawan, anggota Dewan Majelis LPS-HAM Sulteng kepada Komisi Yudisial (KY), Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Pengadilan Tinggi Agama atas penanganan perkara kewarisan yang dianggap sarat kejanggalan.

Perkara yang disorot adalah No. 321/Pdt.G/2025/PA.PAL dan No. 366/Pdt.G/2025/PA.PAL.

Dalam dua perkara ini, terjadi dugaan benturan kepentingan antara hakim dan kuasa hukum penggugat.

Posisi yang dipersoalkan adalah hubungan kemitraan antara PA Palu dengan Perkumpulan Cahaya Keadilan CELEBES dalam program Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM), dimana H. Muhtar, SH sebagai pimpinan lembaga tersebut menjadi kuasa hukum dalam perkara, sementara Wakil Ketua PA Palu, Mohamad Arif, S.Ag., M.H., bertindak sebagai Hakim Ketua.

“Kondisi ini menciptakan irisan kepentingan yang mengancam independensi peradilan. Ada hubungan kelembagaan yang seharusnya menghindari situasi seperti ini,” ujar Dedi Irawan kepada media ini, Senin (14/7/2025).

Dedi mengatakan, dugaan pelanggaran tak berhenti pada potensi konflik kepentingan. Dalam laporan tersebut, juga terungkap adanya pengabaian prosedur formil.

Salah satu penggugat, Hj. Hetty Manoppo, disebut dalam kondisi sakit dan tidak mampu berkomunikasi secara normal, namun namanya tetap tercantum dalam gugatan tanpa kuasa hukum sah ataupun surat pengampuan dari pengadilan.

Meskipun demikian, gugatan tetap diterima, diinput dalam SIPP, dan dilanjutkan hingga tahap persidangan.

“Tindakan menerima gugatan cacat formil ini sangat janggal. Ada dugaan kuat bahwa pelanggaran prosedural ini lolos karena hubungan personal maupun struktural antara pihak yang bersengketa dan pejabat peradilan,” sesal Dedi.

Majelis hakim yang dipimpin M. Arif pun diduga aktif mengarahkan jalannya perkara, termasuk memberi saran kepada pihak penggugat untuk merevisi gugatan dengan memindahkan posisi Hj. Hetty Manoppo dari penggugat menjadi tergugat.

Tindakan ini dinilai melampaui batas peran pasif hakim perdata dan mengarah pada keberpihakan.
Akibat tekanan prosedural dan ketidaksiapan formal, perkara No. 321/Pdt.G/2025/PA.PAL akhirnya dicabut. Namun, integritas sistem peradilan dinilai sudah telanjur tercoreng.

Dedi menilai praktik ini memperlihatkan bagaimana kemitraan dalam program POSBAKUM bisa menjadi “zona abu-abu” yang berisiko disalahgunakan.

Tak hanya itu, dalam putusan perkara, ditemukan pula kesalahan fatal dalam pertimbangan hukum. Di halaman 23, Majelis Hakim keliru mengidentifikasi bukti P-1 sebagai fotokopi Kartu Keluarga atas nama Budiwati, padahal dokumen yang benar adalah surat kenal perkawinan antara Drs. Zainul Mangitung dan Hj. Hetty Manoppo tertanggal 10 Mei 1979.

Kesalahan ini diduga akibat praktik copy-paste pertimbangan hukum dari perkara lain, yang tidak relevan.

Menurut Dedi Irawan, hal ini melanggar prinsip kehati-hatian dan objektivitas sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Keputusan Bersama Ketua MA dan KY tentang Kode Etik Hakim.

“Ini bukan sekadar gugatan perdata, ini soal moralitas dan legalitas lembaga peradilan. Dugaan negligentia in judicando (kelalaian dalam memutus) ini cukup serius untuk menjadi dasar pembatalan putusan,” tegas Dedi.

Pengaduan resmi telah disampaikan ke tiga institusi:
• Komisi Yudisial RI, dipimpin Prof. Amzulian Rifai,
• Bawas Mahkamah Agung RI, di bawah Plt. Kepala Sugiyanto,
• Pengadilan Tinggi Agama, yang diketuai Drs. H. Nur Khazim, M.H.

Dedi berharap investigasi menyeluruh segera dilakukan, termasuk evaluasi terhadap sistem pengawasan internal di PA Palu serta pengaturan ulang mekanisme kemitraan POSBAKUM agar tidak membuka celah penyalahgunaan.

“Reformasi sistemik dibutuhkan. Bukan hanya dalam aspek prosedural, tapi juga integritas moral aparat peradilan. Kalau tidak, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan makin merosot,” pungkasnya. ***